Pasal 7 - Obyek akad dalam akad jual beli disyaratkan harus memenuhi hal berikut
Pasal 7 - Buku Pintar Bisnis Syar'i
Obyek akad dalam akad jual beli disyaratkan harus:
- Secara syar’i mubah
- Milik penjual
- Bisa diserahkan oleh penjual
- Jelas efeknya
Adapun harus mubah secara syar’i, karena Rasul SAW. bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ»
“Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan harganya.” (HR Ibn Hibban dan ad-Daraquthni)
Hadits ini dinyatakan secara mutlak mengharamkan menjual apa yang haram, sementara tidak ada nash yang membatasi kemutlakannya, sehingga tetap berlaku dengan status kemutlakannya. Ini ditegaskan oleh riwayat dari Ibn Abbas ra. yang menyatakan, “Aku melihat Rasulullah SAW. sedang duduk di rukun Yamani. Ibn Abbas berkata, “Rasul mengarahkan pandangannya ke langit, lalu beliau tersenyum. Lalu Beliau bersabda:
«لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ – ثَلاَثًا – إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْهِمُ الشُّحُومَ فَبَاعُوهَا وَأَكَلُوا أَثْمَانَهَا وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ»
“Sesungguhnya Allah melaknat orang-orang Yahudi” –beliau ucapkan tiga kali— “Sesungguhnya Allah mengharamkan lemak bagi mereka, lalu mereka menjualnya dan mereka makan harga hasil penjualannya. Sesungguhnya jika Allah mengharamkan atas suatu kaum untuk memakannya, maka Allah juga mengharamkan harganya bagi mereka.” (HR Abu Dawud)
Sedangkan barang tersebut harus menjadi milik penjual, karena ada riwayat dari Rasulullah SAW. yang menyatakan:
«لاَ بَيْعَ اِلاَّ فِيْمَا يُمْلَكُ»
“Tidak ada jual beli kecuali dalam apa yang dimiliki.” (HR Abu Dawud)
Juga terdapat riwayat dari Rasulullah SAW.:
«لاَ يَحِلُّ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ»
“Tidak halal menjual apa yang bukan milikmu, dan tidak halal keuntungan sesuatu yang belum terjamin (menjamin haknya).” (HR Ibn Majah)
Dan Rasulullah SAW. juga bersabda:
«لَيْسَ عَلَى الرَّجُلِ بَيْعٌ فِيْمَا لاَ يَمْلِكُ»
“Tidak ada jual beli bagi seseorang dalam apa yang tidak ia miliki.” (HR an-Nasai)
Konotasi hadits-hadits tersebut jelas dalam hal keharaman jual beli sesuatu sebelum dimiliki. Adapun diharamkannya jual beli sebelum (barangnya) diserahterimakan, karena ada hadits Hakim bin Hizam ra. yang menyatakan, “Aku berkata kepada Rasulullah SAW.: “Wahai Rasulullah, aku membeli sesuatu, lalu apa yang halal untukku darinya dan apa yang haram bagiku?” Rasulullah SAW. bersabda:
«فَإِذَا اشْتَرَيْتَ بَيْعاً فَلاَ تَبِعْهُ حَتَّى تَقْبِضَهُ»
“Jika kamu membeli sesuatu, janganlah engkau jual hingga kamu memegangnya (diserahkan kepadamu).” (HR Ahmad)
Dari Ibn Abbas ra. berkata, “Rasulullah SAW. bersabda:
«مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ»
“Siapa saja yang membeli makanan, janganlah dia menjualnya hingga dia memegangnya (diserahterimakan kepadanya).”
Ibn Abbas berkata, “Aku menilai segala sesuatu berdasarkan posisi makanan.”
Sabda Rasul SAW., “Jangan kamu menjual hingga kamu memegangnya –(diserahterimakan kepadamu).” mempunyai konotasi hukum keharamannya. Sebab, Hakim bin Hazam, bertanya tentang halal dan haram dalam memperdagangkannya. Jadi ini merupakan pertanyaan seorang pedagang yang melakukan transaksi perdagangan, tentang halal dan haram dalam memperjualbelikannya, lalu Rasul SAW. memberitahukan keharaman menjual komoditi sebelum diserahterimakan kepadanya.
Ini ditegaskan oleh sabda Rasul SAW.:
«لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ»
“Tidak halal salaf dan jual beli, tidak pula dua syarat dalam satu jual beli, tidak pula laba sesuatu sebelum laba tersebut terjamin (menjadi hak milik), dan tidak pula menjual apa yang bukan milikmu.” (HR at-Tirmidzi)
Dalam Ensiklopedia Fikih dijelaskan makna “ribhun mâ lam yudhman (keuntungan sesuatu sebelum laba tersebut terjamin)”, makna frasa “ribhun mâ lam yudhman” adalah keuntungan sesuatu yang dijual sebelum diserahterimakan (menjadi hak milik). Misalnya, seseorang membeli barang, lalu dia jual kepada orang lain sebelum barang itu dia terima dari penjualnya. Jual beli seperti ini batil, dan keuntungannya tidak sah. Sebab jual beli seperti ini ada dalam tanggungan penjual pertama, dan belum menjadi tanggungan pembeli yang membeli darinya, karena belum adanya serahterima.
Serah terima (al-qabdh) adalah menghilangkan penghalang-penghalang di hadapan pembeli untuk menerima barang yang dia beli dan mengeluarkan barang dari kekuasaan penjual. Barang-barang tak bergerak maka disitu cukup dihilangkan penghalang-penghalang di hadapan pembeli untuk menerima barang, seperti tanah, rumah, pabrik dan lainnya.
Sedangkan serahterima barang-barang bergerak, disyaratkan harus memenuhi dua syarat sekaligus, agar serahterimanya terwujud, yaitu hilangnya penghalang dan terjadinya pemindahan dari kekuasaan penjual. Al-Bukhari telah mengeluarkan hadits dari Ibn Umar ra., dia berkata:
«كُنَّا نَشْتَرِى الطَّعَامَ مِنَ الرُّكْبَانِ جِزَافًا فَنَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ – ﷺ – أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ»
“Kami membeli makanan dari para penunggang (pedagang yang datang) secara jizâf, maka Rasulullah SAW. melarang kami untuk menjualnya hingga kami memindahkannya dari tempatnya.”
Adapun syarat keberadaan jual beli itu harus jelas konsekuensinya didasarkan pada hadits Abu Hurairah ra.:
«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – ﷺ – عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ»
“Rasulullah SAW. melarang jual beli gharar.” (HR Abu Dawud)
Al-Jurjani menjelaskan fakta al-gharar tersebut, yaitu sesuatu yang tidak jelas konsekuensi, tidak diketahui akan terjadi atau tidak, atau barang yang dijual di dalamnya terkandung bahaya membelanjakannya dengan rusaknya barang yang dijual tersebut.
Dari fakta gharar tersebut bisa disimpulkan, bahwa transaksi keuangan (mu’amalah maliyah) yang di dalamnya ada kemungkinan satu pihak mendapat keuntungan di atas penderitaan pihak lain, maka adanya kemungkinan itu pada barang yang dijual tadi sudah cukup menjadikan jual beli tersebut sebagai perkara gharar. Jual beli ikan yang masih di dalam air, menjadikan jual beli tersebut memiliki kemungkinan, bahwa pembeli akan mendapatkan ikan, sehingga pembeli mendapatkan ikan dan penjual mendapatkan harganya. Tetapi, secara nyata ada juga kemungkinan bahwa pembeli tidak mendapatkan ikannya, dengan begitu penjualnya mendapat keuntungan dari harganya, sebaliknya pembelinya mendapatkan kerugian atas apa yang dia bayarkan untuk mendapatkan ikan tadi. Maka, penjual dengan kemungkinan ini akan mendapatkan untung di atas penderitaan (kerugian) pembeli. Karena, barang yang dijual di dalam akad jual beli tersebut ujung-ujungnya majhul (tidak jelas).
Imam an-Nawawi mengatakan, “Sedangkan jual beli gharar ini merupakan salah satu inti pembahasan dalam kitab al-Buyû’ (jual-beli). Karena itu, Imam Muslim mengedepankannya. Banyak masalah masuk di dalamnya dan tidak terbatas, seperti jual beli hamba sahaya yang lari, sesuatu yang tidak ada, sesuatu yang tidak jelas (majhul), sesuatu yang tidak bisa diserahterimakan, sesuatu yang belum sempurna dimiliki oleh penjual, jual beli ikan yang masih ada di dalam air yang banyak, jual beli susu yang masih di dalam embing (belum diperah), jual beli bayi hewan yang masih dalam perut induknya, jual beli sebagian yang masih basah…… jual beli satu helai dari sejumlah pakaian, dan jual beli seekor kambing di antara banyak kambing. Semuanya tadi status jual belinya batil.”
Semoga bermanfaat