Pasal 9 - Hukum asal syarat yang terkait dengan akad jual beli adalah mubah, kecuali

admin 9 min read

Pasal 9 - Buku Pintar Bisnis Syar'i

Hukum asal syarat yang terkait dengan akad jual beli adalah mubah, kecuali syarat yang menyalahi syariat, atau bertentangan dengan konsekuensi akad (muqtadhâ al-‘aqd)

Hukum asal syarat yang terkait dengan akad jual beli adalah mubah, kecuali
Mengenai syarat yang menyalahi syariat, karenakan Allah SWT berfirman:

﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ﴾


Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (TQS. al-Maidah [5]: 1)


Allah SWT telah mewajibkan agar memenuhi akad. Ini termasuk memenuhi syarat-syarat yang terkait dengan akad jual beli. Terdapat riwayat dari Rasul SAW., bahwa beliau bersabda:


«اَلْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا»


Kaum Muslim terikat dengan syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan apa yang halal, atau menghalalkan apa yang haram.” (HR at-Tirmidzi)


Sesuai dengan hadits Rasul SAW.:


«الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ مَا وَافَقَ الْحَقَّ»


Kaum muslim terikat pada syarat-syarat mereka, selama sesuai dengan kebenaran (syariat).” (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ad-Daraquthni)


Nash-nash tersebut jelas menyatakan kebolehan syarat apapun secara mutlak, kecuali syarat yang menyalahi al-Kitab dan as-Sunnah. Adapun larangan syarat yang menyalahi konsekuensi akad (muqtadhâ al-‘aqd) itu berdasarkan hadits Barirah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Aisyah ra. yang menyatakan, “Barirah datang kepadaku, lalu dia berkata, “Aku telah mengikat perjanjian dengan tuanku untuk memerdekakanku dengan sembilan awqiyah, dimana setiap tahunnya dengan 1 awqiyah, jadi bantulah aku.” Aisyah berkata, “Jika tuanmu suka, akan aku siapkan untuk mereka, tetapi loyalitasmu tetap untukku, maka aku akan lakukan.” Barirah pergi kepada tuannya dan mengatakan kepada mereka, tetapi mereka menolak hal itu. Barirah datang setelah menemui Aisyah, ketika Rasulullah SAW. sedang duduk, lalu Barirah berkata, “Aku telah menawarkan hal itu kepada mereka, lalu mereka menolaknya, kecuali jika loyalitasku untuk mereka.” Nabi SAW. mendengarnya, dan Aisyah pun memberitahukannya kepada Nabi SAW. lalu Nabi bersabda, “Ambillah, sedangkan syarat loyalitas untuk mereka, sesungguhnya loyalitas itu tidak lain adalah untuk orang yang memerdekakan.” ‘Aisyah pun melakukannya. Lalu, Rasulullah SAW. berdiri di antara orang-orang itu. Beliau memuji Allah, lalu bersabda, “Amma ba’du:


«مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ قَضَاءُ اللَّهِ أَحَقُّ وَشَرْطُ اللَّهِ أَوْثَقُ»


Apa gerangan yang menyebabkan seseorang mensyaratkan syarat-syarat yang tidak ada dalam kitabullah. Syarat apapun yang tidak ada di dalam kitabullah adalah batil, meskipun seratus syarat. Ketetapan Allah lebih layak (diikuti) dan syarat Allah lebih kuat (dipegangi).” (HR. Bukhari, Malik, Ibn Majah)


Rasul SAW. menjelaskan, bahwa konsekuensi akad (muqtadhâ al-‘aqd) dari pembebasan budak itu adalah loyalitas untuk orang yang membebaskannya. Ini menegaskan, bahwa apa yang dituntut oleh akad itu ditetapkan oleh syariat, bukan akal atau karakter muamalah. Dengan demikian, syarat yang mubah tersebut, begitu dijadikan syarat, wajib ditunaikan. Itu ditunjukkan oleh sabda Rasulullah SAW.:


«إِنَّ أَحَقُّ مَا أَوْفَيْتُمْ مِنَ الشُّرُوطِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ»


“Sesungguhnya syarat yang paling layak untuk kalian penuhi adalah syarat yang dengannya kalian halalkan kemaluan.” (HR Bukhari)


Hadits tersebut menunjukkan wajibnya memenuhi setiap syarat, dan yang paling wajib adalah syarat dalam pernikahan. Sabda Rasul SAW. “ahaqqun (yang paling layak)” adalah bentuk kalimat tafdhil (melebihkan). Artinya, selain syarat-syarat pernikahan juga wajib, tetapi yang paling wajib adalah syarat-syarat pernikahan. Dari ‘Umar ra, dia berkata:


«مَقَاطِعُ الْحُقُوْقِ عِنْدَ الشُّرُوْطِ»


“Pembagian hak itu berdasarkan syarat (yang disepakati).”


Atsar ini diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq (menggantung). Ibn Hajar al-‘Ashqalani dalam kitabnya, Fath al-Bârî  mengomentarinya, “Ibn Abi Syibah dan Sa’id bin Mansyur meriwayatannya secara muttashil (bersambung)”. Al-Bukhari juga meriwayatkan secara mu’allaq dengan redaksi jazm (pasti) dari Syuraih, bahwa dia berkata, “Siapa saja yang mensyaratkan untuk dirinya agar berbuat taat, tanpa paksaan, maka dia wajib memenuhinya.”


Semoga Bermanfaat

Posting Komentar