Pasal 11 - Ghabn al-Fâhisy menyebabkan jual beli tidak mengikat bagi orang yang terkena al-ghabn

admin 11 min read

Pasal 11 - Buku Pintar Bisnis Syar'i

Ghabn al-Fâhisy menyebabkan jual beli tidak mengikat bagi orang yang terkena al-ghabn. Dia juga berhak membatalkan jual beli

apa itu ghabn fahisy


Yang dimaksud dengan ghabn al-fâhisy adalah salah satu bentuk kompensasi di luar nilai yang ditentukan oleh orang-orang yang menentukannya. Suatu komoditi kadang nilainya diestimasikan oleh pedagang yang mengetahui pasar dengan harga 40 Dinar, pedagang kedua menilainya 30 Dinar dan pedagang ketiga menilainya 50 Dinar. Maka nilai yang ada di luar dari penilaian tersebut, yaitu antara 30–50 Dinar bisa disebut ghabn fâhisy. Dalil, bahwa ghabn fâhisy ini menyebabkan jual belinya tidak mengikat bagi orang yang terkena ghabn fâhisy tersebut adalah firman Allah SWT:


﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ﴾


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (TQS. an-Nisa’ [4]: 29)


Ghabn adalah memakan harta dengan cara batil, karena harta yang di-ghabn tersebut tidak diambil dengan cara yang benar. Juga berdasarkan hadits Rasulullah SAW.:


«“مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ اللَّهُ لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ”. فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ “وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ» قَالَهَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ”»


Siapa saja yang mengambil hak seorang Muslim dengan tangannya, maka sungguh Allah telah mewajibkan baginya neraka dan mengharamkan baginya surga. Maka seorang laki-laki berkata kepada Rasul SAW., “Meskipun sesuatu yang sepele ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Meskipun hanya sebuah tongkat dari kayu”. Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali.”


Rasul menjelaskan, bahwa mengambil hak seorang Muslim senilai sebuah tongkat, sementara ini merupakan benda yang nilainya kecil (sepele), adalah perkara yang diharamkan. Jadi, ghabn al-fâhisy pada dasarnya merupakan tindakan mengambil hak seorang Muslim dengan cara yang tidak benar.


Orang yang terkena ghabn tersebut berhak untuk membatalkan jual belinya, baik ghabn-nya karena tipu daya, ataupun tidak, selama penawarannya di luar nilai dari penilaian orang-orang yang melakukan penilaian tersebut. Adapun dalil yang membuktikan hal itu adalah sabda Rasulullah SAW. kepada Munqidz bin ‘Amru ketika dia menyebutkan kepada Nabi SAW., bahwa dia berbuat curang dengan melakukan ghabn dalam jual beli. Lalu, Nabi bersabda kepadanya:


«إِذَا أَنْتَ بَايَعْتَ فَقُلْ لاَ خِلاَبَةَ. ثُمَّ أَنْتَ فِى كُلِّ سِلْعَةٍ ابْتَعْتَهَا بِالْخِيَارِ ثَلاَثَ لَيَالٍ فَإِنْ رَضِيتَ فَأَمْسِكْ وَإِنْ سَخِطْتَ فَارْدُدْهَا عَلَى صَاحِبِهَا»


Jika kamu menjual, maka katakanlah tidak ada kecurangan. Kemudian dalam setiap barang yang kamu beli, kamu memiliki hak untuk memilih (meneruskan akad atau membatalkannya) selama tiga malam. Jika kamu menerima, maka pertahankan. Jika kamu tidak suka, maka kembalikan kepada pemiliknya. 


Rasulullah SAW. telah memberikan kepada Munqidz bin ‘Amru hak untuk membatalkan akad, begitu ghabn itu terjadi. Sabda Rasul SAW., “fî kulli sil’at[in] ibta’tahâ (di dalam setiap barang yang kamu beli)” bersifat umum, baik di dalamnya terjadi penipuan oleh penjual ataupun tidak. Ibn Hajar mengomentari hadits ini, “Hadits Ahmad dan salah satu dari dua pendapat Malik ini dijadikan sebagai dalil, bahwa ghabn al-fâhisy ini bisa dikembalikan kepada orang yang tidak mengetahui nilai barang tersebut.”


Ash-Shan’aniy berkata, “Hadits lâ khilâbah (tidak ada penipuan)” merupakan dalil khiyâr (memilih meneruskan atau membatalkan akad), karena adanya ghabn di dalam jual beli, jika ghabn (kecurangan) tersebut terjadi.


Di antara dalil yang menunjukkan, bahwa al-ghabn al-fâhisy menjadikan orang yang terkena ghabn tersebut memiliki hak membatalkan akad, baik penipuan tersebut sudah terjadi ataupun belum, adalah apa yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Abu Hurairah:


«أَنَّ النَّبِىَّ – ﷺ – نَهَى أَنْ يُتَلَقَّى الْجَلَبُ فَإِنْ تَلَقَّاهُ إِنْسَانٌ فَابْتَاعَهُ فَصَاحِبُ السِّلْعَةِ فِيهَا بِالْخِيَارِ إِذَا وَرَدَ السُّوقَ»


“Rasulullah SAW. melarang mencegat orang yang mendatangkan barang sebelum sampai ke pasar. Jika seseorang mencegatnya sebelum sampai di pasar, lalu dia membelinya, maka pemilik barang tersebut memiliki hak memilih (antara meneruskan atau membatalkan akad) jika dia sampai pasar.” 


Imam at-Tirmidzi mengomentari hadits ini, “Orang-orang yang berilmu (ulama’) tidak suka membeli barang sebelum sampai di pasar, karena ini merupakan salah satu bentuk tipudaya (kecurangan).”


Di dalam hadits tersebut, Rasul SAW. menetapkan bahwa penjual memiliki hak membatalkan akadnya, jika dia tiba di pasar dan dia mengetahui, bahwa dia telah dicurangi (ditipu) dalam jual beli tersebut. Begitu al-ghabn al-fâhisy tadi terjadi, maka penjual tersebut berhak untuk membatalkannya.


Begitu juga al-ghabn al-fâhisy telah menyebabkan orang yang ditipu (dicurangi) terkena dharar (bahaya), sementara Rasul SAW. bersabda:


«لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»


Tidak boleh ada bahaya dan membahayakan orang lain.


Di antara hak orang yang terkena dharar adalah menolak dharar tersebut dari dirinya. Sementara memaksa orang yang terkena al-ghabn al-fâhisy tersebut untuk melakukan jual beli, sama saja dengan menghalanginya untuk menolak dharar dari dirinya sendiri, dan ini tentu telah menyalahi sabda Rasul SAW., “Lâ dharara wa lâ dhirâra (tidak boleh ada bahaya dan mebahayakan orang lain).”


Semoga Bermanfaat 

Posting Komentar