Pasal 17 - Khiyar Ru'yah

admin 3 min read

Pasal 17 - Buku Pintar Bisnis Syar'i

a. Ditetapkan bahwa pembeli mempunyai hak khiyâr ar-ru’yah, jika dia membeli harta yang tidak ada di tempat dan belum dideskripsikan kepadanya;

b. Akad jual beli juga mengikat pembeli, jika dia membeli barang yang tidak ada di tempat, tetapi telah dideskripsikan untuknya dan setelah melihat barang tersebut dia mendapatinya sebagaimana yang dideskripsikan atau lebih baik dari apa yang dideskripsikan;

c. Tidak ada khiyâr untuk penjual, jika dia menjual apa yang belum dia lihat;

Khiyar Ru'yah Buku Pintar Bisnis Syar'i

Khiyâr ar-ru’yah adalah ketika seseorang membeli sesuatu yang belum dia lihat, kemudian dia bisa mengembalikannya berdasarkan hak khiyâr tersebut.

Jadi khiyâr ar-ru’yah adalah keadaan dimana pembeli memiliki hak untuk meneruskan jual belinya terhadap barang yang tidak ada di tempat, atau membatalkannya. ‘Alqamah bin Waqash meriwayatkan, bahwa ‘Utsman ra, membeli sebidang tanah di Madinah dari Thalhah bin Ubaidullah ra. Dia membayarnya dengan tanah miliknya di Kufah. Ketika keduanya sama mengetahuinya, ‘Utsman menyesal, kemudian dia berkata, “Aku menjual kepadamu sesuatu yang belum aku lihat.” Thalhah berkata, “Hak khiyâr ru’yah itu milikku. Akulah pihak yang membeli sesuatu yang tidak ada di tempat, sedangkan Anda telah melihat apa yang Anda beli.” Keduanya pun menunjuk hakim untuk memutuskan perkara di antara keduanya. Jubair bin Muth’im mereka tunjuk sebagai hakim, lalu Jubair pun memutuskan untuk ‘Utsman, bahwa jual beli ini boleh, dan bahwa hak khiyâr ru’yah tersebut milik Thalhah, karena dia membeli sesuatu yang ghaib (tidak ada di tempat pada saat akad).

Dalam atsar ini tampak hal-hal berikut:

  1. Thalhah ra. membeli dari ‘Utsman tanah yang belum dia lihat dengan kompensasi tanah miliknya yang telah dilihat oleh Utsman.
  2. Jubair bin Muth’im ra, memutuskan bahwa akad tersebut sah, tetapi dengan syarat adanya hak khiyâr (memilih untuk meneruskan atau membatalkan akad) untuk Thalhah (pembeli), sebab dia membeli apa yang belum dia lihat.
  3. Jubair tidak menetapkan untuk penjual (yakni Utsman) hak khiyâr tersebut dalam posisi, dimana dia menjual sesuatu yang belum dia lihat.
  4. Para sahabat, yaitu ‘Utsman, Thalhah dan Jubair sepakat tentang keabsahan jual beli disertai dengan hak khiyâr ar-ru’yah bagi si pembeli.
  5. Utsman ra berselisih pendapat dengan Thalhah ra, dan Jubair ra, memutuskan tidak ada hak khiyâr ar-ru’yah bagi penjual.

Kesepakatan ‘Utsman, Thalhah dan Jubair tentang keabsahan jual beli tersebut disertai hak khiyâr ar-ru’yah bagi pembeli menjelaskan kepada kita, bahwa mereka berpandangan tentang jual beli tersebut tidak akan menyebabkan perselisihan, meski disertai hak khiyâr bagi pembeli. Sebab pembeli, jika tidak menginginkan barang tersebut, atau dia mendapati barangnya tidak bisa memenuhi harapan dan tujuannya, maka dia bisa mengembalikannya. Dengan begitu, kerelaan yang menjadi syarat keabsahan akad jual beli tersebut tetap ada secara utuh, dan tidak akan berkurang sedikitpun.

Sedangkan hadits yang menyatakan hak khiyâr ar-ru’yah bagi pembeli, maka hadits-hadits tersebut sebenarnya dha’if (lemah). Hadits tersebut adalah:

«مَنْ اِشْتَرَى شَيْئاًلمَ ْيَرَهُ، فَهُوَ بِالْخِيَارِ إِذَا رَآهُ»

“Siapa saja yang membeli sesuatu yang belum dia lihat, maka dia memiliki hak khiyâr (memilih untuk meneruskan atau membatalkan akadnya) ketika melihatnya.”

Dari Rasulullah SAW.:

«مَنْ اِشْتَرَى شَيْئاً لَمْ يَرَهُ فَهُوَ بِالْخِيَارِ إِذَا رَآهُ، إِذَا شَاءَ أَخَذَهُ وَإِذَا شَاءَ تَرَكَهُ»

“Siapa saja yang membeli sesuatu yang belum dia lihat, maka dia memiliki hak khiyâr (memilih untuk meneruskan atau membatalkan akadnya) jika melihatnya. Jika dia mau, dia boleh mengambilnya; dan jika dia mau, dia pun boleh meninggalkannya.”

Kedua riwayat tersebut dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubrâ. Al-Baihaqi menukil penilaian dha’if tersebut dari ad-Daraquthni atas kedua riwayat tersebut sebagai penegasan terhadap pendapat ad-Daraquthni. Begitu pula Ibn Hajar dalam kitabnya, Talkhîsh al-Habîr juga menukil penilaian dha’if ad-Daraquthni terhadap kedua riwayat tersebut. Sedangkan dalil yang menyatakan akad jual beli dalam penjualan barang yang tidak di tempat (ghaib) yang telah dideskripsikan kepada pembeli lalu pembeli mendapatinya seperti yang dideskripsikan kepadanya —atau lebih baik daripada yang dideskripsikan— tersebut bersifat mengikat adalah sabda Nabi SAW.:

«لاَ تُبَاشِرِ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَتَنْعَتَهَا لِزَوْجِهَا، كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا»

“Janganlah seorang wanita bergaul dengan wanita lain, kemudian menceritakannya kepada suaminya, sehingga seolah-olah suaminya melihat wanita itu sendiri.” (HR al-Bukhari)

Konotasi yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah, bahwa Rasulullah SAW. menyamakan deskripsi dengan memandang dan melihat. Hadits ini mempunyai konotasi, bahwa pengetahuan melalui pendeskripsian sama dengan mengetahui fisik sesuatu yang dideskripsikan. Jika jual beli tersebut mengikat karena antara deskripsi dengan fakta barang yang dijualnya sama, tentu lebih mengikat lagi jika barang yang dijual tersebut ternyata lebih baik daripada yang dideskripsikan dalam akad jual beli tadi.

Mengenai batasan deskripsi barang yang tidak ada di tempat (ghaib), batasannya adalah setiap deskripsi yang bisa membuat harganya berbeda, atau tujuan dan keinginannya bisa berbeda disebabkan batasannya berbeda.

Qadhi ‘Abdul Wahab al-Baghdadi mengatakan dalam kitabnya, al-Ma’ûnah bi Mazhhab ‘âlim al-Madînah tentang batasan deskripsi tersebut, bahwa kalau terbukti jual beli barang yang tidak ada di tempat tersebut diperbolehkan melalui pendeskripsian, maka yang diperlukan adalah semua sifat yang dimaksud, dimana tujuannya bisa berbeda sesuai dengan perbedaan sifatnya; harganya pun bisa berbeda mengikuti perbedaan sifat tersebut; keinginan terhadap barang tersebut bisa makin besar, atau kecil juga ditentukan oleh ada dan tidaknya sifat tersebut.

Pandangan kami tentang masalah ini, bahwa ini berlaku untuk barang tertentu yang tidak ada di tempat pada saat akad jual beli. Dengan demikian, konteks ini tidak berlaku untuk barang yang dideskripsikan dalam tanggungan (al-maushufah fi dzimmah atau akad salam).

Sedangkan tidak adanya hak khiyâr bagi penjual, jika dia menjual barang yang belum dia lihat, maka dalam atsar tersebut dinyatakan, bahwa Jubair ra memutuskan tidak ada hak khiyâr bagi ‘Utsman ra, yang menjual sesuatu yang belum dia lihat. Tetapi ‘Utsman ra berbeda pendapat dengan Jubair ra. ‘Utsman berpandangan, bahwa penjual memiliki hak khiyâr. Yang tampak –wallâh a’lam – bahwa pendapat Jubairlah yang lebih rajih (kuat). Sebab penjual tersebut lalai karena belum melihat barang yang dia jual. Kelalaian tersebut berangkat dari kenyataan, bahwa barang yang dijual sebenarnya berada dalam kekuasaannya, dan tidak ada halangan baginya untuk melihatnya kapan pun. Karena itu, penjual menanggung resiko kelalaiannya dalam mencermati dan melihat barang yang dia jual.

Posting Komentar