Pasal 16 - Khiyâr syarat tersebut dinyatakan gugur karena hal-hal berikut

admin 3 min read

Pasal 16 - Buku Pintar Bisnis Syar'i

Khiyâr syarat tersebut dinyatakan gugur karena hal-hal berikut ini:

  1. Rusaknya barang yang dijual dalam rentang waktu khiyâr; 
  2. Konfirmasi (persetujuan) jual beli dalam rentang waktu khiyâr syarat, baik dengan ucapan maupun perbuatan yang menunjukkan dengan jelas adanya pemilihan barang yang dijual; 
  3. Meninggalnya orang yang memiliki hak khiyâr syarat dalam rentang waktu khiyâr; 
  4. Berakhirnya jangka waktu khiyâr syarat;

Pasal 16 - Khiyâr syarat tersebut dinyatakan gugur karena hal-hal berikut

Adapun rusaknya barang yang dijual dalam rentang waktu khiyâr syarat, karena kalau barang yang berada di tangan penjual tersebut rusak dalam rentang waktu khiyâr sebelum diserahkan kepada pembelinya, maka akadnya jelas batal. Sebab obyek yang diakadkan tadi telah hilang, sementara tidak ada gunanya khiyâr, ketika obyek yang diakadkan sudah tidak ada. Karena itu, khiyâr syarat tersebut gugur, karena statusnya mengikuti status akadnya. Jika akadnya batal, maka khiyâr syarat-nya juga gugur. Sebab, ia mengikuti akadnya. 

Jika barang yang dijual tersebut rusak setelah diterima pembelinya, maka jual beli seperti ini bersifat mengikat, dan harganya pun dinyatakan sebagai tanggungan pembeli, sementara hak khiyâr-nya telah gugur. Sebab barang yang dijual tersebut dalam rentang waktu khiyâr tadi merupakan barang milik pembeli, dan telah menjadi kepemilikan pembeli semata karena akadnya telah sempurna. 

Karena itu, jika barang yang dijual tadi rusak, maka jual belinya tetap mengikat. Dengan begitu, hak khiyâr-nya pun hilang mengikuti status jual belinya yang mengikat itu. Mengenai konfirmasi terhadap jual beli bisa dilakukan dalam rentang waktu khiyâr syarat, itu karena khiyâr syarat tersebut justru ada untuk membuka peluang dibatalkannya akad dalam rentang waktu khiyâr tersebut. Karenanya, jika pemilik hak khiyâr tersebut telah menerima barang yang dijual kepadanya dengan senang hati, maka status jual belinya menjadi mengikat. Dengan begitu, hak khiyâr-nya pun hilang.

Konfirmasi terhadap jual beli tersebut bisa dilakukan dengan ucapan atau perbuatan. Ucapan adalah setiap kata-kata yang menunjukkan dengan jelas kerelaan terhadap akad tersebut. Misalnya, dia mengatakan, “Saya menerima; saya batalkan hak khiyâr saya; saya teruskan jual beli ini; atau ucapan lainnya yang menunjukkan dengan jelas adanya kerelaan terhadap barang yang dijual. Sedangkan konfirmasi dengan perbuatan, bisa dilakukan dengan setiap perbuatan yang menunjukkan tasharruf (tindakan) pemilik terhadap harta miliknya, seperti menginfakkan, mewakafkan atau menyewakannya, atau dengan menambahkan sesuatu pada barang yang dijualnya, dengan tambahan yang sulit dipisahkan seperti bangunan tambahan untuk rumah, memperbarui dekorasi tempat perdagangan, perubahan persneling mobil dan sebagainya.

Mengenai berbagai perbuatan yang dimaksudkan sebagai test untuk barang yang dibeli, supaya bisa mengetahuinya dan mengujinya, maka perbuatan tersebut tidak bisa menggugukan khiyâr, baik dilakukan oleh pembeli atau oleh penjual, jika harganya berupa harta (bukan uang). Karena maksud dari khiyâr tersebut adalah untuk menguji dan mencoba barang yang dijual untuk meyakinkan pemilik hak khiyâr tersebut, bahwa barang yang dia terima layak untuk tujuan yang menjadi alasan dia menginginkan barang tersebut. Umumnya, tujuan dari khiyâr itu adalah untuk mempelajari dan mendalami barang yang diterima. Ini tidak akan terwujud, kecuali dengan memakainya. Jika pemakaian tersebut bisa menggugurkan khiyâr, maka adanya khiyâr tersebut jelas tidak ada gunanya, dan tidak mempunyai tujuan apa-apa.

Mengenai kematian orang yang memiliki hak khiyâr dalam rentang waktu khiyâr, para fukaha telah sepakat, bahwa kematian orang yang tidak memiliki hak khiyâr tidak bisa mempengaruhi gugurnya hak khiyâr tersebut. Sebaliknya, pihak lain (selain yang meninggal) dalam akad tersebut hak khiyâr-nya tetap. Di kitab al-Majmû’ dinyatakan, “Jika khiyâr untuk salah satu dari kedua pihak yang melakukan akad tersebut tanpa pihak lain, lalu orang yang tidak mempunyai hak khiyâr tersebut meninggal, maka hak khiyâr tersebut tetap berlaku untuk pihak lain tadi. Dalam kasus ini tidak ada perbedaan pendapat.”

Dalil tentang gugurnya khiyâr syarat karena matinya orang yang memiliki hak khiyâr dalam rentang waktu khiyâr tersebut, dan hak khiyâr tersebut tidak beralih kepada ahi warisnya, adalah sabda Rasulullah SAW.:

«مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِوَرَثَتِهِ»

“Siapa saja yang meninggalkan harta, maka itu menjadi hak ahli warisnya.”

Syariat telah menjadikan sebagai milik ahli waris harta yang ditinggalkan oleh mayit, baik berupa harta benda, manfaat (jasa), atau hak yang mendapatkan kompensasi. khiyâr syarat ini tidak termasuk di dalam semua nya. khiyâr syarat bukanlah harta benda, bukan manfaat (jasa), dan bukan pula hak yang darinya bisa diambil kompensasi. Secara syar’i, khiyâr syarat tidak boleh diambil kompensasi, sebab ada kebimbangan antara digunakan dan tidak. Fakta seperti ini jelas merupakan gharar, sedangkan Rasulullah SAW. telah melarang jual beli gharar. Sebagaimana pihak lain bisa menerima khiyâr seseorang, sementara dia juga bisa tidak menerima khiyâr ahli waris. Maka, memaksanya untuk menerima khiyâr ahli waris sama artinya dengan menciderai syarat suka sama suka (tarâdhin) yang harus ada dalam jual beli.

Mengenai berakhirnya rentang waktu khiyâr syarat, alasannya karena khiyâr yang bersifat temporal dengan rentang waktu tertentu jelas tidak ada lagi setelah jangka waktunya telah berlalu. Sebab khiyâr tersebut telah berlalu, dan hilang dengan berlalunya waktu yang ditetapkan. Akadnya pun kembali kepada hukum asalnya, yaitu mengikat.

Semoga Bermanfaat

Posting Komentar