Pasal 2 - Ijab dan Qabul terjadi dengan semua lafadz, perbuatan atau isyarat yang menunjukkan ijab dan qabul tersebut dengan jelas

admin 8 min read

Pasal 2 - Buku Pintar Bisnis Syar'i

Ijab dan Qabul terjadi dengan semua lafadz, perbuatan atau isyarat yang menunjukkan ijab dan qabul tersebut dengan jelas


Ijab secara harfiah, artinya mengharuskan. Dikatakan wajaba al-bay’ wujûb[an] wa awjabahu, artinya lazima wa alzama (harus dan mengharuskan).


Ijab adalah apa yang terlontar dari pihak penjual, yang menunjukkan kerelaannya untuk berjual beli, baik dilontarkan terlebih dahulu atau tidak. Sedangkan qabul adalah apa yang terlontar dari pihak pembeli yang menunjukkan kerelaannya untuk berjual beli, baik dilontarkan terlebih dahulu atau kemudian. Sebagaimana ijab, qabul juga berlangsung dengan menggunakan setiap lafadz, atau perbuatan yang menunjukkan ijab dan qabul tersebut dengan jelas. Dalilnya adalah firman Allah SWT:


﴿وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ﴾


Padahal Allah telah menghalalkan jual beli.” (TQS. al-aqarah [2]: 275)


Kata al-bay’ di dalam ayat tersebut bersifat umum dan tidak dispesifikkan dengan lafadz, atau perbuatan tertentu sebagaimana yang juga tampak dalam firman Allah SWT:


﴿إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ﴾


Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (TQS. an-Nisa [4]: 29)


Ayat di atas hanya mensyaratkan adanya kerelaan dari keduanya, atau suka sama suka dalam jual beli. Ayat tersebut tidak mensyaratkan dengan menggunakan ucapan tertentu, atau perbuatan tertentu. Diriwayatkan dari Rasul SAW., bahwa beliau bersabda:


«إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَنِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعًا .. »


Jika dua orang berjual beli, maka masing-masing memiliki hak untuk memilih (untuk meneruskan akadnya atau membatalkannya) selama keduanya belum berpisah dan masih berkumpul. 


Konotasi hadits ini menunjukkan, bahwa Rasulullah SAW. menjadikan jual beli bersifat mengikat, semata karena adanya faktor suka sama suka dari keduanya, dan terjadinya perpisahan secara fisik, dimana beliau tidak menentukan ucapan atau perbuatan tertentu.


Imam Malik berkomentar, “Akad-akad itu sah dengan cara apa saja yang menunjukkan maksudnya, baik berupa ucapan atau perbuatan. Tidak disyaratkan dengan teks (redaksi) tertentu dalam ijab dan qabul. Karena yang dimaksud adalah konotasi (makna) yang menunjukkan adanya kerelaan dua belah pihak, dan itu bisa terjadi dengan al-mu’âthâh (tahu sama tahu), yang menunjukkan adanya persetujuan, atau sejenisnya.


Ibn Taymiyah berkata, “Sudah diketahui bersama, bahwa jual beli, ijarah, hibah dan sebagainya tidak dibatasi dengan batasan tertentu, baik di dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah SAW.. Tidak pernah disampaikan dari seorang pun sahabat dan tabi’in, bahwa untuk akad tersebut ditetapkan dengan satu kriteria tertentu dalam bentuk lafadz atau yang lain. Tidak pula disampaikan dari seorang pun sahabat dan tabi’in, bahwa mereka mengatakan apa yang menunjukkan keabsahan kriteria tertentu untuk akad, seperti bahwa akad tersebut tidak terjadi, kecuali dengan redaksi tertentu, misalnya. Bahkan bisa dikatakan, bahwa pernyataan tersebut telah menyalahi Ijmak generasi terdahulu, dan bahkan ini merupakan perkara (bid’ah) yang diada-adakan. Untuk itu, tidak tidak ada batasan di dalam bahasa Arab, dimana para ahli bahasa menyebut ini sebagai jual beli, sedangkan yang lain tidak disebut sebagai jual beli, sehingga salah satu dari keduanya termasuk dalam seruan Allah, sedangkan yang lain tidak. Namun, sebutan bagi orang yang melakukan kebiasaan tersebut, bahwa berbagai akad disebut sebagai jual beli merupakan dalil, bahwa dalam bahasa mereka itu disebut jual beli. Karena itu, hukum asal yang menjadi patokan adalah tradisi bahasa dan ketetapannya, bukan apa yang telah dinukil dan diubah. Jika jual beli tersebut tidak memiliki batasan tertentu, baik batasan dalam syariah maupun bahasa, maka yang menjadi rujukan adalah tradisi dan kebiasaan masyarakat. Apa yang mereka sebut sebagai jual beli, maka itulah fakta jual beli.”


Jadi syariah tidak menetapkan lafadz tertentu atau perbuatan spesifik untuk ijab dan qabul dalam jual beli. Karenanya, wajib merujuk pada tradisi (kebiasaan masyarakat). Apa yang dinilai oleh masyarakat sebagai jual beli, maka itu merupakan realitas jual beli, seperti batasan serah terima (al-qabth), menyimpan barang (al-hirz) dan lainnya.


Ibn Qudamah berkata, “Menurut kami, Allah telah menghalalkan jual beli dan tidak menentukan tatacara (kayfiyah)-nya, maka dalam hal ini wajib merujuk kepada ‘urf (tradisi), sebagaimaka merujuk kepada tradisi dalam hal serah terima (al-qabth), menyimpan barang (al-hirz) dan perpisahan (at-tafarruq). Kaum Muslim pun melakukan aktivitas di pasar mereka, dimana praktik jual beli mereka berjalan seperti itu. Karena praktik jual beli dahulu sudah berlangsung di antara mereka, dan mereka ketahui. Hanya saja, syariah menentukan hukum-hukum tertentu untuknya, dan membiarkan yang lain menurut apa yang ada. Karena itu, ketentuan tersebut tidak boleh diubah, baik berdasarkan pandangan maupun paksaan tertentu.”

Posting Komentar